TERJEMAHAN DISINI

Jumat, 14 Februari 2025

 

Heboh #KaburAjaDulu Bergema di Medsos, Keresahan Gen Z pada Pemerintah?

Ajakan hijrah ke negeri orang yang bergema lewat #KaburAjaDulu bukan tanpa sebab. Tagar ini diklaim sebagai manifestasi frustrasi yang mendalam atas berbagai permasalahan yang dihadapi. Benarkah demikian?


Jakarta - Jagad maya ramai oleh riuh netizen tentang hashtag atau tagar kabur aja dulu. Ajakan hijrah dari Indonesia ke negeri orang lain bukan tanpa sebab. Tagar ini dinilai merupakan manifestasi dari frustrasi yang mendalam atas berbagai permasalahan yang dihadapi.

Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengungkapkan, tagar tersebut terlacak paling awal diunggah oleh akun @amouraXexa pada 8 Januari 2025. Namun waktu itu masih kecil sekali engagement-nya.

"Baru viral setelah diangkat @hrdbacot pada 14 Januari 2025, lalu akun @berlianidris pada 6 Februari 2025," kata Ismail kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/2025).

Dia menilai, #KaburAjaDulu ini sebagai reaksi frustasi atas situasi di Indonesia yang dirasakan sebagian netizen. Mereka mencari informasi lowongan kerja, tips persiapan berangkat, risiko yang harus dipertimbangkan, dan perbandingan tinggal di Indonesia dengan luar negeri.

"Frustrasi netizen terhadap keadaan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan ekonomi, kualitas hidup yang menurun, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak memadai, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik," kata dia.

Dari sisi umur, Ismail mengungkapkan, mereka yang meramaikan hashtag ini kebanyakan usianya antara 19-29 tahun sebesar 50.81%, lalu sebanyak 38.10% usianya kurang dari 18 tahun. Sedangkan dari segi gender, separuh lebih disampaikan oleh pria.

"Paling banyak dari kalangan laki-laki sebesar 59.92%, lalu perempuan 40.08%," ujar dia.

Ada dampak baik dan buruk dari hebohnya #KaburAjaDulu. Ismail menuturkan, dari sisi positif netizen meyakini adanya peluang kerja yang lebih baik di luar negeri. Kemudian juga menambah pengalaman hidup yang beragam dan menggapai kesempatan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan baru

"Selain itu, adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pengembangan diri," ujar dia.

Kemudian dari sisi buruknya, muncul persepsi negatif terhadap pemerintah dan kondisi di dalam negeri. Selain itu kesulitan dalam beradaptasi dengan budaya baru serta stigma sosial terhadap mereka yang memilih untuk berimigrasi.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menilai, pada era digital saat ini, media sosial bisa menjadi salah satu sarana dalam melakukan upaya edukasi masyarakat. Selain itu juga dapat dijadikan tekanan publik baik secara sosial, psikologis, politik bahkan ekonomi.

"Secara sosiologis, juga bisa menjadi sumberdaya dalam melakukan aktivisme sosial, termasuk gerakan sosial," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/20250.

Ia mengungkapkan, #KaburAjaDulu merupakan ekspresi sebagian kelompok yang disampaikan melalui media sosial. Karena menurut mereka, medsos dianggap sebagai saluran komunikasi yang tersedia, terbuka bagi publik, dan dianggap aman dan punya daya pengaruh besar.

Untuk itu, dia menilai tagar yang menghebohkan ini belum tentu dibangun oleh gen Z semata. Banyak elemen lain yang bermain dalam dunia maya tersebut.

"Di dunia digital, harus juga dipahami bahwa narasi yang terbangun apakah memang dibangun murni oleh Gen-Z? Karena melalui medsos berbagai kelompok kepentingan bisa memanfaatkan atau bahasa lainnya "mendulang di air keruh'," ujarnya.

"Artinya netizen tetap perlu bersikap kritis atas wacana yang muncul tersebut," Ida menegaskan.

Dia menuturkan, kemunculan tagar ini tidak sertamerta menjadi hal yang lumrah atas kondisi Indonesia saat ini. Sebab perpindahan masyarakat pada era saat ini, harus disikapi sebagai dampak dari globalisasi.

"Wajar tidaknya tentu terkait daya kritis publik dalam mensikapi tagar tersebut. Secara sosiologis, sebagai dampak globalisasi, memang terjadi peningkatan mobilitas warga dunia, termasuk hadirnya berbagai warga asing di Indonesia," jelas dia.

Artinya, dia menegaskan, adanya WNI yang 'keluar negeri' dan kemudian mmutuskan 'menetap' di negara lain, masih perlu dikaji berapa banyak yang "kabur". "Dan apakah itu merupakan wujud resistensi bahkan perlawanan pada pemerintah?" tanyanya.

Ida pun menyoroti karakter Gen Z yang dikenal sebagai generasi strawberry yang mempesona tapi rapuh. Menurutnya, hal tersebut tidak bisa digeneralisasi, meski data BPS menunjukkan ada sekitar 2O-an persen pada kelompok tersebut yang berstatus Not in Employment, Education, and Training (NEET).

"Pertanyaannya adalah jika Gen Z sebagai pelaku "kabur aja dulu", maka sebetulnya mereka generasi yang tangguh dan berani menghadapi risiko karena bermigrasi ke negara lain bukan hanya butuh daya tahan untuk hidup mandiri, namun juga modal finansial dan juga modal sosial (jaringan, trust, dan lainnya)," kata dia.

Mereka yang ingin hijrah ke negara lain, pada prinsipnya dimungkinkan bermotivasi mencari penghidupan yang lebih baik dan sejahtera serta lingkungannya kondusif. "Aspek terakhir ini yang bisa menjadi pemicunya, kemudian narasi plus tagarnya diviralkan. Secara sosiologis, migrasi bisa dilihat sebagai proses mencari keseimbangan hidup," kata dia.

Ida menilai #KaburAjaDulu belum dikategorikan sebagai gerakan sosial meski bergema di jagad maya. Dalam kasus tertentu, memang media sosial bisa menjadi sarana gerakan sosial yang efektif contohnya adalah gerakan #MeToo.

Gerakan #MeToo adalah kampanye global melawan pelecehan dan kekerasan seksual yang mulai viral pada tahun 2017. Gerakan ini dimulai setelah aktris Alyssa Milano mengajak korban pelecehan seksual untuk membagikan pengalaman mereka dengan menggunakan tagar #MeToo di media sosial.

"Pertanyaan mendasar adalah apa tujuan jangka panjangnya. Perubahan sosial apa yang diharapkan?Dengan demikian Negara, seharusnya mendapat pembelajaran tentang hal-hal tersebut, termasuk juga pembelajaran bagi masyarakat, karena normalisasi masyarakat selama ini, atas hal-hal yang merugikan hak-hak warga bangsa dan warga negara, ikut berkontribusi atas situasi kondisi yang ada," dia menandaskan.

Seperti Dua Mata Pisau

Sementara itu, menurut Psikolog Klinis, Fifi Pramudika, tagar "Kabur Aja Dulu" layaknya dua mata pisau. Artinya, ada sisi positif dan negatifnya.

"Seperti dua mata pisau ya, tagar Kabur Aja Dulu jadi marak terus orang jadi punya aspirasi untuk hidup di luar negeri ya kalau kita lihat mungkin jadi bisa menambah jumlah diaspora-diaspora Indonesia yang ada di luar negeri. Ibaratnya ini jadi kayak diplomasi, memperkenalkan Indonesia di panggung dunia," jelas Fifi kepada Liputan6.com lewat sambungan telepon, Jumat (14/2/2025).

Secara ekonomi, ketika orang kerja di luar negeri maka bisa menyumbangkan devisa untuk Indonesia sehingga menguntungkan negara.

"Tapi di sisi lain ada dampak atau konsekuensinya yang negatif juga. Misalnya, kalau semua orang ke luar negeri, yang membangun Indonesia siapa? Talenta-talenta terbaik pergi ke luar negeri, akhirnya di Indonesia ya udah tinggal orang-orang yang mungkin bukan best of the best untuk membangun negara ini. Jadi ya ada positif negatifnya," terang Fifi.

Fifi menambahkan, #KaburAjaDulu dapat memengaruhi anak-anak atau pemuda lain untuk melakukan gerakan tersebut.

"Bisa nggak memengaruhi anak-anak untuk mengikuti movement ini? Ya bisa-bisa aja ketika mereka melihat bahwa hidup di Indonesia udah enggak promising (menjanjikan) dan bahwa mereka punya talenta untuk bersaing di kancah global."

Hanya saja, sambungnya, untuk pindah ke luar negeri dan mencari kehidupan yang lebih baik maka perlu persiapan yang sangat optimal.

"Supaya tujuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik itu bisa tercapai," ucap Fifi.

Fifi pun menyoroti soal bahasa atau kata yang digunakan dalam #KaburAjaDulu.

"Kita lihat dari tagarnya aja deh, kan kalau di psikolog juga kadang kita melihat narasi yang digunakan, kata-kata yang dipakai. Di sini kata yang dipakai aja ‘kabur’ kabur itu kan biasanya kita lakukan ketika memang kita mau lari, ada sesuatu yang mau kita hindari."

"Orang kabur itu kan karena menghindari sesuatu yang kurang baik, supaya dia bisa selamat. Nah, apakah ini sama dengan lari dari kenyataan?  Kalau mereka betul-betul pergi ke luar negeri, maka kemudian yang terjadi mereka akan menghadapi kenyataan yang baru di negara tujuan," urai Fifi.

Sementara, kehidupan di negara tujuan baru pun tak selalu tiba-tiba stabil dan belum tentu nyaman.

"Yang namanya kita merintis, awal-awal itu pasti ada nggak enaknya, masa beradaptasi ini yang kritis. Ketika masa-masa beradaptasi itu bisa jadi enggak enak juga yang dihadapi, tidak sesuai gambaran, tak sesuai bayangan."

Belum lagi soal pajak yang tinggi, nihilnya transportasi daring, mahalnya harga jasa, hingga tantangan empat musim.

"Makanya perlu persiapan, kita bukan lari dari kenyataan tapi ibaratnya kayak kita tetap aja hidup di dunia nyata. Mau hidup di Indonesia, mau di luar negeri kita kan tetap hidup di dunia nyata. Lari dari kenyataan itu kayak kita tidur dan bermimpi, itu kita lari dari realita istilahnya, tapi kalau tinggal di Indonesia atau luar negeri kan yang kita hadapi tetap realita.

Secara sederhana, tagar #KaburAjaDulu merujuk pada keinginan anak muda untuk meninggalkan Indonesia dan mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri, baik dari segi karier, pendidikan, maupun standar hidup.

Menurut Fifi tagar "Kabur Aja Dulu" memang sedang trending akhir-akhir ini. Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial, tetapi bisa dipahami sebagai bagian dari mekanisme psikologis dalam menghadapi tekanan sosial dan ekonomi.

"Kalau kita lihat, ini sebenarnya bukan sekadar tagar, tapi bentuk respons terhadap kondisi yang sedang tidak menentu, baik secara ekonomi maupun sosial," kata Fifi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RAHASIA BANGET

  Hansi Flick Susun Rencana Unik untuk Lamine Yamal: Pemain Kidal, Kaki Kanan Dilatih Secara Ekstra Barcelona tengah menyusun masa depan cer...

BACA LAINNYA DISINI